Mereka berteriak girang, sementara Safrida hanya melongok kepala
sekilas dari jendela kamar rumoh inong. Di keudee Tengku Banta Manyang
ramai sekali yang tengah menonton televisi. Bangku kayu yang berjejer di
luar warung sesak dengan orang kampung.
Gaduh. Mulut-mulut beranti-anti berkomentar. Hati Safrida masih
perih. Padahal sudah banyak ia membunuh serdadu pemerintahan. Ia dipuji
panglima sebagai wanita perkasa. Wanita yang mewarisi semangat baja Cut
Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, Laksamana Malahayati—wanita yang tidak mau
dijajah.
Dendam itu belum tergerus. Waktu yang bergulir tak kuasa meredam
rupanya. Wanita itu sudah mencoba untuk melupa, tapi tidak bisa! Ingatan
itu begitu kuat melekat di otaknya.
Bocah kecil ribut di pekarangan rumoh. Buah delima sedang
lebat-lebatnya. Bocah bergelantungan demi mencapai buah masak yang ada
di ujung.
Kaki Safrida terseret ke rumoh-dapu. Masyiknya entah ke mana
sudah perginya. Kanot air di tungku api. Safrida turun ke sumur, lalu
mengambil baju kotor punya-nya dan masyik. Dimasukkan ke ember hitam
besar dan dipikul di atas kepala. Safrida ke meunasah. Bocah-bocah
menyapa riang Safrida yang berpapasan lewat.
"Ka damai geutanyoe, Da," tegur istri Tengku Banta kepada
melihatnya lewat. Safrida tersenyum dipaksa sambil mata melihat ke arah
televisi. Semua berita televisi berkenaan dengan perjanjian damai yang
dilakukan antara pemerintah RI dengan kelompok bersenjata Gerakan Aceh
Merdeka di Helsinki.
Hatinya perih. Bagi orang lain berita damai itu menggembirakan,
tapi baginya tidak. Damai itu tak berarti apa-apa untuk Safrida.
Dengan langkah lamban Safrida ke meunasah. Lumayan jauh jarak rumohnya dengan meunasah.
Suara ngaji terdengar sayup-sayup dari meunasah. Suara mengaji si
Suman merdu sekali. Subuh akan menjelang. Safrida sudah terbangun
sedari tadi.
Dan sayangnya, Safrida sama sekali tidak tahu bahwa sebenarnya
hari itu adalah hari kelabu untuk dirinya. Kisah pahitnya bermula dari
hari itu.
Pukul tujuh pagi. Ayam jantan masih ada yang berkokok satu-satu.
Desiran angin menggigil. Langit kurang bersahabat. Safrida sudah
siap-siap akan pergi ke sekolah dengan garinya.
"Mau ke mana, Da?" tanya itu berasal dari lelaki yang berseberangan di jalan dengan Safrida.
Safrida seperti kenal betul dengan yang empunya suara itu. Dan
tabuh di dadanya tak tinggal diam. Selalu lain bila ia mendengar suara
itu. Bahkan semenjak dahulu.
"Mau ke meunasah," Safrida cepat berlalu. Manan masih saja tampan. Masih seperti dulu. Tapi sayang, lelaki itu sudah beristri.
Padahal dulu, Manan pernah minta dirinya kepada Bapak. Dan kata
Bapak, tunggu ia tamat SMA dulu. Tapi waktu itu, tak pernah berkunjung.
Safrida sebentar lagi sampai ke meunasah.
Tiba-tiba saja pagi itu kembali bergejolak. Tembakan membabi
buta. Safrida yang sudah turun, lekas merunduk di lantai seulasa. Bapak
yang baru saja selesai mandi ikut merunduk di sampingnya. Mak dan Masyik
entah di sumur, entah pula di rumoh dapu?
Sesekali dikejutkan dengan gelegar suara bom. Dan diikuti
rentetan senapan tak berhenti. Memekakkan telinga. Menciutkan nyali.
Merasai ajal itu seperti di depan gerbang.
Untungnya tak lama reda. Safrida nekad tetap ingin ke sekolah.
Tapi Mak melarang. Takutnya ada sweeping di jalan. Gadis itu berpikir
keras. Bapak memutuskan tak jadi masuk ke kantor.
Safrida tiba di meunasah. Rupanya ada Sakdiah di sumur meunasah
yang sedang memandikan anaknya. Harus bersusah payah perempuan itu
memandikan anaknya itu. Bandel sekali bocah itu.
Begitu melihat Safrida, Sakdiah melempar senyum sekali dan anaknya sudah lepas dari cengkeramnya.
"Sudah cukup mandi jih mak..."
"Bacut lagi, mantong kalang nyoe," tangan Sakdiah menggosok-gosok
leher anaknya. Si bocah tertawa-tawa sembari mengatakan
'geli...geli...'
Melihat kejadian itu, ada iri yang menyelusup di benak Safrida.
Di kampungnya, semua perempuan sudah menjadi ibu, selain dirinya. Tak
satu pun pria yang mau memperistri dirinya. Padahal usianya tak muda
lagi. Bagaimana pula ia punya anak? Sebagai perempuan normal, ingin
sekali ia bersuami dan punya anak. Baru sekarang Safrida merasakan
kesepian. Ia butuh suami dan anak-anak yang lucu.
"Sudah teken damai Da, ya?" Sakdiah akan pulang. Bocah yang
digendong mencium muka Maknya. Safrida mengangguk pelan. Wajah itu
beringsut lega.
Safrida ke sumur. Tangan itu mulai sibuk menimba air sumur.
Pekerjaan itu sungguh muda bagi seorang Safrida yang sering mengangkat
senjata berat dahulunya.
Safrida tersentak ketika melihat berdatangan tentara-tentara di
pekarangan rumohnya. Bapak, Mak, Masyik cepat turun dari atas rumah.
Bapak sudah bercelana, tak berhanduk seperti waktu merunduk tadi.
Suasana mencekam. Mak, Masyik lekas luruh air mata sebab takut
sekali. Salah satu tentara yang berperawakan tinggi dan hitam keling
meminta KTP Bapak.
"Kau GAM, ya?" bentak tentara itu kasar.
"Bukan Pak, saya ini rakyat biasa," Bapak tampak gentar.
"Pasti kamu sembunyikan GAM di rumah kamu?!" sambung kawannya juga dengan tak kalah kasarnya.
"Periksa rumah ini!"
Dan sekitar sepuluh orang tentara naik ke rumah Aceh tanpa
melepas sepatu. Empunya rumah tak berkutik. Pintu rumah disepak-sepak.
Ada beberapa yang masuk ke kroong padee. Dan para tentara itu tidak
mendapatkan GAM seperti yang mereka tuduhkan. Memang aneh sekali
serdadu-serdadu pemerintahan itu, main tuduh saja kerjanya!
Lamban sekali kerja Safrida. Sudah lama di sumur, baru dua potong baju yang siap disikat. Lamunannya entahlah ke mana.
Sebagian tentara pergi ke rumah samping, ke rumah Wa Ali. Suara mereka keras dan kasar sampai kedengaran ke rumoh Safrida.
"Ada GAM di sini...!" Teriakan itu bagai halilintar di telinga Safrida. Dan...
"Dor...Dor..." tubuh Bapak bersimbah darah. Dua pelor menembus kepala lelaki itu. Tanpa bertanya terlebih dahulu.
"Bapak...Bapak..." Mak histeris.
"Dor...Dor...." Mak terkulai tak berdaya. Tembakan di mana-mana. Dua lengan kasar mendekap tubuh Safrida.
"Masyik...Masyik...." Ronta Safrida.
"Beuk kapeulaku cucoe long...." Masyik berusaha menarik tubuh
cucunya itu. Tapi tak daya sama sekali perempuan sepuh itu, sekali
dihajar dengan badan senapan, langsung terjungkang ke tanah.
"Kamu cantik juga, ya?" tentara itu membabi buta.
"Bek...Bek...." Safrida menghiba-hiba. Meronta sejadi-jadinya. Tubuhnya makin jauh diseret ke semak-semak.
"Barang bagus, ya?"
"Ya nih...Tapi aku duluan ya...Ha...ha..." Setan itu terpingkal-pingkal.
"Ayo sayang..."
"Jangan...." Safrida menjerit panjang. Tak ada penolongnya.
Safrida menimba lagi air di sumur. Air tadi kurang rupanya. Baju
kotor baru beberapa pasang yang tersikat. Masih banyak sisanya.
Ingin sekali Safrida mengakhiri hidupnya. Tak sanggup hidup dalam
tabur derita. Mak dan Bapak dibunuh di depan mata. Gadisnya direnggut
beramai-ramai.
Tapi, suatu hari datang panglima GAM ke kampung. Berapi-api
menerangkan jikalau orang kampung tak boleh tinggal diam. Hati Safrida
panas bukan main. Dendamnya membara. Ia ingin menuntut balas.
Safrida naik gunung. Bergabung dengan Pasukan Inong Balee.
Mendapat latihan militer yang dilatih mualim. Ternyata banyak dara
seperti Safrida yang bergabung. Nama pasukan itu diubah. Tak lagi inong
balee, tapi Askariyah.
Berbulan-bulan Safrida di gunung. Tiap hari latihan berat.
Tangannya kasar bukan main. Mengokang senjata bukan hal baru. Sudah
mahir menggunakan senjata.
Safrida terkenal pemberani di pasukan Askariyah. Paling sering
terlibat perang langsung dengan serdadu pemerintah. Bahkan tembakannya
jitu. Banyak mematikan pasukan musuh. Safrida begitu terbakar semangat
bila ingat wajah Mak dan Bapak.
Wanita itu berubah licin dan berbisa. Berbagai cara ditempuh
untuk menghabisi nyawa serdadu pemerintahan. Wajahnya yang memikat tak
jarang jadi tameng. Digoda dan diajak ke tempat terasing. Lalu diracuni
setiba di sana. Bukan sekali-dua kali berhasil menyisipkan bom di pos
tanpa dicurigai sedikit pun.
Mendadak nama Safrida menjadi tenar. Ia disejajarkan dengan
petinggi-petinggi GAM yang sama beracunnya. Penyisiran dilakukan
besar-besaran untuk mencari perempuan bernama Safrida. Di pedalaman
hutan bakau Manyak Payed, Safrida dilantik oleh panglima menjadi
komandan pasukan Askariyah karena berprestasi tinggi.
Dendam Safrida masih membuncah. Dendam itu bukannya mengendur.
Seolah tangannya gatal bila tak menghabisi nyawa serdadu pemerintahan
sehari saja. Ia begitu puas ketika melihat tubuh musuh bersimbah darah.
Selesai juga Safrida menyikat semua baju kotor. Pekerjaan
selanjutnya membilas baju-baju itu dengan air. Langit kelam pelan-pelan.
Mata Safrida menengadah ke langit. Ia waswas bila hujan turun.
Keadaan terdesak. Panglima Sagoe Manyak payed, Galinggeng,
menyerahkan diri ke pasukan RI. Safrida tak bisa percaya itu! Padahal
Safrida lagi semangat-semangatnya. Kata panglima sagoe, perjuangan GAM
sudah melencang dari syariat. Ah, benarkah itu? tanya hati Safrida.
Safrida dan anak buah Askariyahnya dalam posisi terjepit.
Tertangkap tinggal menunggu waktu. Bencana. Galinggeng pasti akan
memberitahukan tempat persembunyian mereka. Safrida kalut tak terkira.
Akhirnya mereka ikut menyerah. Tapi dendam kesumat tak raib. Bagusnya
menyerahkan diri, ia dan anak buahnya itu dibebaskan beberapa minggu
kemudian. Dikembalikan ke kampung masing-masing dengan penjagaan ketat.
Rosmawati lewat dengan menggamit lengan dua anaknya. Kembali
Safrida menyaksikan kejadian itu dengan menelan ludah. Enak sekali bisa
menjadi ibu dan punya anak, lirihnya. Nampak Safrida di sumur, Rosmawati
berhenti di balik pagar dan menyapa.
"Aceh ka damai Da, seunang that hatee long...."
Rosmawati melempar senyum dan berlalu karena anaknya merengek
minta dibelikan kue. Kepala Safrida terangguk paksa, tapi hati dan jiwa
menolak keras. Ini tak damai untuk Safrida! Damai ini tak berarti
apa-apa.
Damai ini tak bisa membuat gadisnya kembali. Ketakutannya karena
diperkosa tak raib. Mak dan Bapak tak juga kembali. Damai ini tak bisa
membuatnya bisa peroleh suami dan anak yang diidamkan lama. Enak saja
pemerintah mengira, dengan teken janji damai, semua akan kembali laik
semula.
Bagaimana harus seorang inong balee mengembalikan suaminya? Sang
ibu harus berbuat apa untuk menghidupkan tujuh anaknya yang sudah
dibunuh? Bagaimana harus menghilangkan memori ketika melihat tubuh orang
yang dicintai ternyata sudah tak berkepala lagi dan didapati
melayang-layang di krueng? Dara harus bagaimana untuk membuat perawannya
kembali setelah direnggut tragis?
Damai itu hanya di selembar atau beberapa kertas. Sementara perih
jiwa di sekujur tubuh. Sembuhkan luka itu? Safrida bisakah berdamai
dengan duka di sekujuran tubuh?
Safrida akan menjemur baju di pagar besi meunasah. Terdengar
suara-suara tertawa dari keudee Tengku Banta Manyang. Langit kian kelam.
Tak lama, butiran menitik satu persatu. Safrida cemas. Bajunya alamat
tak kering. ***
Catatan:
- Askariyah : Sebutan pasukan perempuan GAM. Pada awalnya
dinamakan Inong Balee, tapi belakangan, karena anggota dari pasukan ini
bukan berasal dari inong balee saja (janda), tapi juga banyak
gadis-gadis, makanya namanya diganti menjadi askariyah.
- rumoh inong: Rumoh Inong (rumah induk). Letak ruangan ini
adalah di antara serambi depan dan serambi belakang. Posisinya lebih
tinggi dibanding kedua serambi tersebut. Rumah induk ini terbagi menjadi
dua kamar. Keduanya dipisahkan gang atau disebut juga rambat yang
menghubungkan serambi depan dan serambi belakang.
- keudee: Kedai.
- beranti-anti: saling rebut-rebutan.
- kanot: panci.
- Ka damai geutanyoe, Da: Sudah damai, kita Da
- Bacut lagi, mantong kalang nyoe: Sedikit lagi, masih banyak dakinya.
- Rumoh dapu: Rumoh-dapu (dapur). biasanya, letak dapur pada
rumah tradisional Aceh itu berdekatan atau tersambung dengan serambi
belakang. Lantai dapur sedikit lebih rendah dibanding lantai serambi
belakang.
- u: ke.
- Aceh ka damai Da, seunang that hatee long: Sudah damai Aceh Da, senang sekali
hatiku.
- Seulasa: Teras.
- Krong padee: Lumbung padi—tempat penyimpanan padi dan lazimnya terletak di bagian bawah rumoh Aceh.
Posted By. TENTANGKU!

.jpg)


Recent Posts
Home »
Cerita Rakyat
» Safrida Askariyah (DI Geudubang Jawa)
Safrida Askariyah (DI Geudubang Jawa)
01.15
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
0 komentar on Safrida Askariyah (DI Geudubang Jawa) :
Post a Comment and Don't Spam!