Putri terbangun ketika malam telah bertengger di puncaknya.
Dinyalakannya lampu kamar. Pukul dua dini hari. Di luar sana, kesunyian
telah sempurna mengepung kota. Sayup-sayup terdengar suara tiang listrik
dipukul seseorang. Digelitiki rasa penasaran, Putri melangkah menuju
ruang tamu. Instingnya mengatakan ada kesibukan di sana. Tebakannya tak
meleset. Dia mendapati Bapak masih bergelut dengan pekerjaannya.
Kertas-kertas berserak di meja dan lantai. Ada bukit kecil di asbak,
terbuat dari puntung-puntung rokok. Tiga gelas kopi yang sudah kosong,
beku di dekat Bapak.
Putri memandangi sosok lelaki yang hanya mengenakan kaos oblong
dan kain sarung itu. Dia tidak sadar kalau kacamatanya telah melorot ke
hidung. Wajahnya tegang. Sekali waktu, jemarinya meniti huruf demi huruf
di depan matanya. Begitu bersemangatnya dia, hingga tak sempat
menyadari bahwa ketukan yang ditimbulkannya telah melahirkan nada yang
tersendat-sendat, yang hampir tiap malam merusak kenyamanan tidur
anaknya. Sekejap kemudian, dia menghentikan ketikannya. Diam mematung,
tapi pikirannya seperti meraba dalam kegelapan. Mengetik lagi. Melamun
lagi. Begitu terus-menerus. Ah, Bapak, desis Putri dalam hati.
Mesin tik tua itu sangat berharga bagi Bapak. Suatu hari, beliau
pernah berkata bahwa dia lebih mencintai mesin tik itu ketimbang dirinya
sendiri. Pendapat yang berlebihan, menurut Putri. Tapi, kalau sudah
melihat bagaimana Bapak memperlakukan mesin tik itu, Putri benar-benar
trenyuh. Inilah jalinan cinta terunik yang pernah dilihatnya.
Sejujurnya, Putri sudah jenuh mendengar sejarah mesin tik itu. Sudah
berkali-kali Bapak mengulangnya. Benda itu dibelinya dengan harga miring
di pasar loak. Manakala kisahnya sampai pada asal-muasal uang untuk
membeli mesin tik itu, makin berbinarlah mimiknya. Ya, ya, Putri sudah
hafal luar kepala. Dari hasil menyisihkan honor tulisan, akhirnya dia
bisa memiliki mesin tik yang lama menggoda dalam mimpinya.
Begitulah. Mungkin usia mesin tik itu jauh lebih tua dari Putri
yang kini duduk di bangku sekolah menengah umum. Setiap melihat mesin
tik itu, Putri seperti melihat sosok seorang pensiunan tua. Di sisa
hidupnya, tidak semestinya dia masih bekerja membantu Bapak menghasilkan
tulisan-tulisan. Gudang adalah tempat yang nyaman untuk benda antik
itu.
Tapi tidak. Bapak sungguh telaten merawat mesin tik itu. Sejarah,
mungkin, membuat cinta Bapak tak pernah layu. Sudah beberapa kali Bapak
mereparasi kekasihnya itu. Tahun-tahun belakangan ini, dia mulai rewel.
Ada saja kerusakan yang terjadi, seperti pita yang kerap lepas dari
tempatnya atau huruf yang tercetak miring. Tapi, Bapak sabar
meladeninya. Jika dia merasa sanggup memperbaiki kerusakan itu, pasti
dikerjakannya sendiri. Kalau dia menyerah, dia tidak sungkan membawanya
ke tempat servis.
*****
Akhirnya, bayangan yang Putri takutkan itu menjadi kenyataan.
Guru-guru di sekolah membuktikan ancamannya. Mulai hari ini mereka
menggelar aksi mogok mengajar sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Ini benar-benar sebuah mimpi buruk. Bagaimana tidak, semua guru di
kotanya, bahkan di kota-kota lainnya, serempak melakukan aksi serupa.
Mereka bersikeras agar pemerintah pusat merealisasikan tuntutan mereka.
Ah, begitu banyak cara menyikapi suatu persoalan. Inilah pilihan terbaik
di antara yang terburuk.
Seumpama macan yang terusik tidurnya, guru-guru di sekolah Putri
menggeliat dari kepasrahan yang lama melilit mereka. Mulai hari ini,
hampir seluruh sekolah di negeri Putri lumpuh total. Tidak ada kegiatan
belajar mengajar. Guru-guru mogok massal. Sejak pagi hingga siang hari,
orang-orang dipaksa menyaksikan pemandangan yang entah heroik atau
menyedihkan itu. Guru-guru dengan pakaian korps lengkap,
berbondong-bondong menuju gedung wakil rakyat. Mereka ingin menyampaikan
aspirasi di sana . Mereka masih sempat tersenyum dan memekikkan
yel-yel, tapi sesungguhnya air mata menetes dalam batin mereka.
Sudah hari keempat Putri dan teman-temannya terlantar. Beberapa guru
memang tampak hadir di sekolah, tapi mereka tetap enggan memberi
pelajaran. Mereka hanya duduk-duduk di ruang guru. Berbincang dengan
raut muka tegang. Mereka tetap berkeras agar pemerintah segera membayar
rapel gaji mereka yang terus-menerus ditunda. Murid-murid bingung. Kalau
begini jadinya, pihak mana yang harus disalahkan?
"Teman-teman, sudah beberapa hari ini kelas kita melompong tanpa
guru. Rasanya hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Kita harus
melakukan sesuatu."
"Tapi, tindakan apa yang bisa kita lakukan?"
"Saya yakin kita semua sudah mengerti masalah apa yang menimpa guru kita, bukan?"
Sebagian dari mereka mengangguk mengiyakan.
"Kita semua tahu, menekuni profesi sebagai pendidik di negeri ini
begitu dilematis. Tidak usahlah saya jelaskan panjang lebar. Ini sudah
jadi rahasia umum. Apalah artinya gaji guru dibanding kebutuhan hidup
mereka? Belum lagi potongan di sana-sini. Kalau dulu, kita menganggap
guru adalah pekerjaan yang luhur dan mulia, tapi sekarang, kita telah
melihat kenyataan bahwa guru tak jauh beda dengan sapi perah."
Rapat terus bergulir. Ketika jam istirahat tiba, seisi kelas
membentuk kelompok-kelompok kecil. Mereka berunding mencari jalan
keluar. Ternyata membahas apa yang bisa mereka lakukan sebagai bentuk
solidaritas murid kepada guru bukanlah masalah yang mudah.
Dari sekian banyak usulan, semuanya mengerucut pada satu
kesimpulan. Anak-anak itu bermaksud menyumbangkan uang kas kelas pada
guru mereka. Sejumlah uang itu tentulah tidak sebanding dengan kebutuhan
hidup seorang guru. Tapi masalahnya, dari sekian banyak guru di sekolah
itu, siapakah yang lebih berhak menerima pemberian itu?
*****
Sejak perceraian yang menyakitkan itu terjadi, Bapak memuntahkan
esedihannya lewat tulisan. Dia seperti kesurupan kalau sudah di depan
mesin tik. Jemarinya melompat-lompat begitu liar, seliar ide dan
imajinasi yang ada di benaknya. Dia benar-benar produktif berkarya.
Putri memutuskan ikut Bapak. Biarlah dua adiknya yang masih kecil ikut
Ibu. Putri ingin belajar pada Bapak bagaimana menghayati hidup dengan
sederhana dan bersahaja. Diam-diam, Putri pun bercita-cita ingin seperti
Bapaknya.
*****
Angin menabuh daun-daun. Terik matahari begitu menyengat.
Debu-debu beterbangan dibawa angin. Musim kemarau seakan enggan
bersahabat pada manusia di muka bumi.
Dari balik bingkai jendela, Putri memandangi daun-daun yang
menguning dan berguguran di halaman rumahnya, dihalau angin kemarau.
Putri mendesah gamang. Aduhai, lihatlah daun-daun itu. Seburuk apa pun
mereka diperlakukan cuaca, mereka akan kembali menjadi humus yang
menyuburkan. Tapi, kenapa kadangkala hidup tak sesuai dengan apa yang
diharapkan?
Putri hanya mengurung diri dalam kamar ketika Bapak sedang
meladeni beberapa tamunya. Sayup-sayup didengarnya percakapan antara
Bapak dengan mereka. Hati gadis belia itu seperti disayat-sayat.
"Pak Sukri, kami harap Bapak berkenan menerima pemberian kami ini, sebagai rasa simpati kami semua terhadap perjuangan Bapak."
"Kami mohon Bapak tidak berkecil hati. Tidak ada maksud kami
melecehkan profesi Bapak. Kami tahu Bapak adalah guru dengan idealisme
tinggi. Kami juga tahu, kami tidak akan pernah bisa membalas jasa Bapak.
Hanya ini yang bisa kami berikan sebagai tanda terima kasih kami."
Sungguh, ingin rasanya Putri menjerit sekuatnya. Tapi sebisa
mungkin dia tahan. Putri tidak tahu bagaimana menghadapi kenyataan ini.
Putri ingin lari sejauh mungkin. Lari dari kepedihan yang menghimpit
jiwanya. Ah, hidup memang kejam. Sesengit apa pun meladeninya, tetap
saja mereka terpojok. "Tuhan, seperti apakah posisi kami di hadapanMu
sesungguhnya?" gugat Putri dalam hati.
*****
Putri terbangun ketika malam telah bertengger di puncaknya.
Dinyalakannya lampu kamar. Pukul dua dini hari. Dia merasa matanya
sembab dan bengkak. Rupanya sejak sore tadi dia tertidur beralaskan
bantal yang basah oleh airmata. Di luar sana, kesunyian telah sempurna
mengepung kota. Sayup-sayup terdengar suara tiang listrik dipukul
seseorang. Digelitiki rasa penasaran, Putri melangkah menuju ruang tamu.
Tebakannya tak meleset. Dia mendapati Bapak masih berkutat
menyelesaikan pekerjaannya. Kertas-kertas berserak di meja dan lantai.
Ada bukit kecil di asbak, terbuat dari puntung-puntung rokok. Tiga gelas
kopi yang sudah kosong membeku di dekat Bapak.
Tiba-tiba suara mesin tik berhenti. Menyadari ada yang sedang
memperhatikannya, Bapak melirik Putri yang berdiri di dekatnya. Dari
balik kaca mata tebal itu, Putri masih dapat melihat jendela hati Bapak
yang kuyu. Mungkin, dia sedang sebisa mungkin menahan rasa sedih dan
kecewa. Ah, betapa ketabahanku tidak ada apa-apanya dibandingkan
ketabahan Bapak. Putri mendesah samar.
Dengan suara tersendat-sendat seperti caranya mengetik, Bapak
menceritakan kedatangan teman-teman Putri sore tadi. Putri benar-benar
bingung. Mulutnya serasa terkunci.
"Kamu masih percaya bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa,
Putri?" tanya Bapak di penghujung ceritanya. Suaranya berat dan gamang.
Pertanyaan itu membuat Putri terkejut. Dia tidak menyangka Bapak akan
bertanya seperti itu. Ragu-ragu ditatapnya Bapak. Tapi Bapak malah balik
menatap Putri dengan mimik menunggu. Putri hafal tatapan itu. Tatapan
seorang guru yang menunggu jawaban dari muridnya. Putri gugup, menelan
ludah seperti menelan sebutir paku. Pak Guru Sukri masih menunggu
jawaban dari muridnya.
Puti diam. Pak Sukri pun diam. Detik-detik berlalu dalam
kebisuan. Tak ada angin berembus. Sunyi menciptakan jarak yang terasa
panjang dan menyakitkan.
"Mulai detik ini, belajarlah untuk melupakannya, anakku. Itu cuma
omong kosong," pinta Pak Sukri pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Suaranya terasa getir dan parau. Sangat parau.
#sekian#
Posted By. TENTANGKU!

.jpg)


Recent Posts
Home »
Cerita Rakyat
» Angin Menabuh Daun-daun (Versi Geudubang Jawa)
Angin Menabuh Daun-daun (Versi Geudubang Jawa)
19.14
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
0 komentar on Angin Menabuh Daun-daun (Versi Geudubang Jawa) :
Post a Comment and Don't Spam!