Selamat pagi sobat, kali ini saya ingin membagikan atau mempostingkan sebuah kisah nyata islami yang saya kutip dari sumber media masa oke simak saja cerita ini.
Al-Qur’an merupakan kalamullah yang diturunkan oleh Rabb semesta alam
sebagai mukjizat bagi Rasulullah shalallahu alaihi wa salam. Isinya
merupakan obat penawar bagi jiwa yang berada dalam kehampaan dan
kegersangan. Dalam periode waktu yang relatif singkat Al-Qur’an telah
mampu mengubah kehidupan orang arab jahiliyah kepada cahaya hidayah yang
terang benderang dan menjadikannya kaum yang terhormat dan disegani.
Kandungan Al-Qur’an kemudian mampu menggerakkan generasi sesudahnya
sehingga keimanan mereka kokoh dan Islam pun tersebar ke seantero
jazirah Arab bahkan mampu menembus kekaisaran Romawi Timur (Bizantium)
dan Andalusia. Allah memfirmankan bahwa dalam Al-Qur’an memang terdapat
sebab menuju kemuliaan,
“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepadamu sebuah kitab yang di
dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada
memahaminya?” (Qs. Al-Anbiyaa’ : 10).
Namun kini empat belas abad telah berlalu, Al-Qur’an telah banyak
ditinggalkan, hanya menjadi hiasan dinding dan lemari serta sekadar
dibaca tanpa diresapi maknanya dengan mentadabburinya. Allah subhanahu
wa ta’ala kemudian memberikan peringatan dalam firman-Nya,
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk
tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun
(kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang
sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa
yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan
di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Qs. Al-Hadiid: 16).
Ayat ini bisa menjadi bahan instropeksi bagi kita yang kini lalai dan
sebagai upaya memperbaiki kondisi hati yang belum juga tunduk ketika
seruan Allah dikumandangkan. Mungkin hati kita memang telah menjadi
sedemikian keras.
Pangkal Kebaikan hati
Untuk melunakkan dan melembutkan hati Allah memerintahkan untuk
mentadabburi dan berupaya memahami kandungan Al-Quran dengan
sungguh-sungguh dan melarang untuk berpaling darinya,
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (QS Muhammad: 24)
Allah subhanahu wa ta’ala juga menjelaskan bahwa tujuan diturunkannya
Al-Qur’an adalah sebagai sarana untuk tadabbur dan tadzakkur,
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan
berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat
pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Shaad: 29)
Dalam Madarij As-Salikin Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah menjelaskan bahwa
hal yang paling bermanfaat bagi seorang hamba dalam kehidupan dunia dan
akhiratnya (untuk lebih mendekatkannya dengan keselamatan) adalah dengan
ber-tadabbur pada Al-Qur’an, perenungan yang berkelanjutan, dan
konsentrasi akan makna ayat-ayatnya. Menurut beliau sikap ini mampu
membuat seorang hamba mengetahui berbagai kebaikan dan kejahatan serta
aspek-aspeknya, metode untuk menempuh jalan kebaikan dan kejahatan
tersebut, kausalitasnya, tujuan-tujuannya, buah hasilnya, dan nasib para
pelakunya. “
Sementara dalam bukunya yang lain, Miftah Dar As-Sa’adah beliau
mengatakan bahwa bertadabbur akan melahirkan cinta, rindu, rasa takut,
rasa harap, inabah, tawakal, ridha, sikap penyerahan, syukur, sabar, dan
berbagai kondisi psikologis lain yang menghidupkan dan menyempurnakan
hati. Tadabbur juga dapat menjauhkan berbagai sifat dan perbuatan
tercela yang menggerogoti hati.Membaca satu ayat dengan tafakkur dan
tafahhum (kritis dan bersungguh-sungguh untuk mencari pemahaman makna
Al-Qur’an), lanjut beliau, lebih baik daripada sekedar membaca satu kali
khatam tanpa tadabbur dan tafahhum. Hal itu lebih bermanfaat bagi hati
dan lebih efektif dalam menumbuhkan iman dan kenikmatan membaca
Al-Qur’an. Jadi, membaca Al-Qur’an dengan tafakkur adalah pangkal
kebaikan hati.”
Keutamaan Menangis
Allah subhanahu wa ta’ala memuji makhluk-Nya yang paling mulia di dalam firman-Nya,
“Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (QS Maryam: 58)
Ibnu Sa’di berkata berkenaan dengan ayat di atas, “Firman Allah
subhanahu wa ta’ala, ‘Maka mereka menyungkur dengan bersujud dan
menangis, maksudnya adalah mereka khudhu’ dan khusyu’ dengan ayat-ayat
tersebut, karena menggoreskan iman, cinta dan takut di hati mereka,
sehingga membuat mereka menangis, berserah diri dan sujud kepada Tuhan
mereka.”
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman mengenai para ahli kitab yang shalih,
“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila
Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka
sambil bersujud, dan mereka berkata, ‘Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya
janji Tuhan kami pasti dipenuhi.’ Dan mereka menyungkur atas muka
mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS al Israa’: 107 � 109)
Menangis, menurut Al-Ghazali, disunahkan saat membaca Al-Qur’an. Cara
untuk memaksakan tangisan adalah membayangkan hal-hal yang dapat
menyebabkan kita menangis, yaitu dengan merenungi ancaman dan janji yang
ada di dalam Al-Qur’an, kemudian merenungi kealpaan sikap kita terhadap
berbagai perintah dan larangan Allah subhanahu wa ta’ala.
Rasa sedih dan tangis hanya menghampiri hati seseorang yang bersih.
Hilangnya kesedihan dan tangisan hendaknya membuat kita bersedih (dan
menangis), karena hal tersebut merupakan tanda musibah terbesar yang
telah menimpanya.”
Belajar dari Generasi Awal
Dalam sejarah kehidupan generasi awal Islam, banyak kita temui
kisah-kisah tentang kelembutan hati dimana mereka sering menangis ketika
membaca dan mendengarkan Al-Qur’an. Hati mereka begitu mudah tersentuh
karena keimanan yang telah begitu kuat mengakar di dalam dada. Berikut
ini beberapa kisah tentang figur-figur itu:
1. Abu Bakar Ash-Shidiq Radhiallahu Anhu
Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya bahwa ketika sakit Rasulullah
shalallahu alaihi wa salam semakin keras, beliau ditanya tentang shalat.
Lalu beliau menjawab, “Suruhlah Abu Bakar mengimami orang-orang.”.
Aisyah berkata, “Sesungguhnya Abu Bakar adalah orang yang sangat lembut.
Bila dia membaca Al-Qur’an maka dia tidak kuasa menahan tangis.” Lalu
Nabi shalallahu alaihi wa salam berkata, “Suruhlah dia mengimami
shalat.” Lalu Aisyah mengulangi perkataannya. Nabi Shalallahu Alaihi wa
Salam pun berkata, “Suruh dia mengimami shalat. Sesungguhnya kalian
(seperti) pengikut Yusuf.”
2. Umar bin Khattab Radhiallahu Anhu
Abdullah bin Syidad berkata, “Aku mendengar tangisan sedu sedan Umar
saat aku di barisan belakang, yaitu ketika dia membaca, ‘Sesungguhnya
hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku’.” (HR
Bukhari)
Diriwayatkan dari Ubaid bin Umair, ia berkata, “Umar mengimami kami
shalat Subuh, lalu dia membaca surat Yusuf pada rakaat pertama. Ketika
sampai pada ayat, ‘Dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya)’ (QS Yusuf: 84) beliau menangis hingga berhenti lalu ruku’”
3. Abdurrahman bin Auf Radhiallahu Anhu
Diriwayatkan dari Sa’ad bin Ibrahim, dia berkata, “Abdurrahman bin Auf
diberi makan malam saat dia berpuasa. Lalu dia membaca firman Allah
subhanahu wa ta’ala,
“Karena sesungguhnya pada sisi Kami ada belenggu-belenggu yang berat
dan neraka yang bernyala-nyala, dan makanan yang menyumbat di
kerongkongan dan adzab yang pedih.’ (QS Al-Muzammil: 12-13)
Setelah itu dia terus-menerus menangis hingga makan malamnya dibereskan, sedangkan (siang harinya) dia benar-benar puasa.”
4. Aisyah Radhiallahu Anha
Diriwayatkan dari Qasim (keponakan Aisyah), ia berkata, “Apabila aku
pergi pada pagi hari maka aku selalu memulai keberangkatanku dari rumah
Aisyah untuk mengucapkan salam kepadanya. Pada suatu hari aku pergi dan
ternyata dia sedang berdiri sambil membaca tasbih dan ayat,
‘Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari adzab neraka.’ (Qs. Ath-Thuur: 27)
Dia berdoa, menangis, dan mengulang-ulang ayat tersebut. Lalu aku
berdiri hingga aku jenuh berdiri. Lalu aku pergi ke pasar untuk mencari
kebutuhanku. Ketika aku kembali, ternyata Aisyah Radhiallahu Anha masih
berdiri seperti semula sambil melakukan shalat dan menangis.”
5. Abu Hurairah Radhiallahu Anhu
Diriwayatkan dari Sulaiman bin Muslim bin Jammaz, “Aku mendengar Abu
Ja’far berkata kepada kami tentang bacaan Abu Hurairah radhiallahu anhu
pada ayat,
“Apabila matahari digulung.” (Qs At-Takwiir:1)
Beliau sangat tersayat hatinya ketika mendengar ayat tersebut, hingga terkadang menangis dengan ratapan.
6. Abdullah bin Rawahah Radhiallahu Anhu
Diriwayatkan dari Qais bin Abu Hazim, ia berkata, “Abdullah bin Rawahah
menangis, lalu istrinya ikut menangis. Lalu dia bertanya kepada
istrinya, ‘Apa yang membuatmu menangis?’ Istrinya menjawab, ‘Aku
melihatmu menangis maka aku pun ikut menangis.’ Dia kemudian berkata,
‘Aku teringat dengan ayat ini,
“Dan tidak ada seorang pun daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu.” (Qs Maryam: 71).
Aku tahu bahwa aku pasti akan memasuki neraka, tetapi aku tidak tahu apakah aku akan selamat dari neraka.’
7. Abdullah bin Umar Radhiallahu Anhu
Diriwayatkan dari Qasim bin Abu Bazzah, ia berkata, “Aku diberitahu oleh
orang yang mendengar Ibnu Umar radhiallahu anhu membaca ayat,
‘Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu)
orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta
dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain,
mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya
mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari
(ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?’ (Qs. Al Muthaffifiin: 1-6)
Ibnu Umar lalu menangis hingga tersungkur, dan setelah itu ia enggan untuk membaca ayat tersebut.”
8. Ibnu Abbas Radhiallahu Anhu
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Mulaikah, dia berkata, “Aku menemani
Ibnu Abbas radhiallahu anhu dari Mekah ke Madinah. Jika singgah di suatu
tempat maka dia selalu bangun pada separuh malam.” Lalu Ayyub bertanya
kepadanya, “Bagaimana bacaannya?” Abdullah menjawab,”Dia membaca,
‘Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya.’ (Qs. Qaaf: 19)
Dia membacanya dengan tartil dan sering menangis terisak-isak.
9. Umar bin Abdul Aziz
Diriwayatkan dari Ibnu Abi Dzaib, ia berkata, “Aku diberitahu oleh
seseorang yang sempat menyaksikan Umar bin Abdul Aziz sebagai gubernur
Madinah, bahwa seorang laki-laki membacakan ayat ini kepadanya,
‘Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu
dengan dibelenggu, mereka disana mengharapkan kebinasaan. (Qs.
Al-Furqaan: 13)
Lalu Umar bin Abdul Aziz menangis hingga tidak dapat mengendalikan
tangisnya dan isakannya pun menjadi keras. Lalu dia berdiri dari tempat
duduknya dan masuk ke rumah.”
10. Hasan Al-Bashri
Diriwayatkan dari Salam bin Abu Muthi’, ia berkata, “Hasan diberi
segelas air untuk berbuka puasa. Ketika dia mendekatkan air itu ke
mulutnya, dia menangis dan berkata, ‘Aku ingat harapan besar dari para
penghuni neraka dan ucapan mereka, “Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu.’ Aku pun teringat jawabannya kepada mereka,
‘Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir.” (QS Al-A’raaf: 50)
11. Abu Hanifah
Muhammad bin sama’ah meriwayatkan dari Muhammad bin Hasan, dari Qasim
bin Ma’an, bahwa Abu Hanifah bangun malam sambil mengulang-ulang firman
Allah subhanahu wa ta’ala,
“Sebenarnya hari Kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” (Qs. Al-Qomar: 46).
Dia menangis dan tadharru’ (merendahkan diri) hingga Subuh.
Demikianlah kisah pribadi-pribadi itu, yang mencerminkan kondisi jiwa
mereka yang takut akan kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala, kisah yang
merupakan cerminan dari kejujuran hati yang dipenuhi cahaya keimanan.
Semoga kita bisa menjadikannya sebagai teladan.
Sumber : jilbab.or.id
Posted By. TENTANGKU!
Recent Posts
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
0 komentar on Dan Mereka pun Menangis (geudubangjawapost) :
Post a Comment and Don't Spam!